Rabu, 06 Januari 2010

Delegasi RI Tidak Tegas

Pertemuan COP 15 di buka dengan semangat optimistik, hal ini tercermin dari statement politik PM Denmark (Mr. Lars Lokke Rasmussen) yang menekankan bahwa semua pihak berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan bumi. Sehingga diperlukan aksi dan target yang kuat untuk menyelamatkan bumi.

Hal serupa juga disampaikan oleh Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo de Boer, bahwa komitmen Kyoto Protokol post 2012 perlu dilanjutkan karena hanya Kyoto Protokol yang secara internasional dapat mengikat secara hukum tanggungjawab para pihak untuk menurunkan emisi.

Teguh Surya, salah satu delegasi WALHI untuk COP 15 di Copenhagen, mengatakan: “Delegasi RI terlihat tidak mempersiapkan dengan matang sikap Indonesia terkait dengan beberapa hal yang akan diputuskan dipertemuan ini untuk melindungi segenap kepentingan bangsa. Sehingga sangat disayangkan kesempatan ini telah disia-siakan begitu saja, bahkan ironis pemerintah Indonesia hanya menjadikan pertemuan tersebut untuk berdagang dan terjebak pada tawaran sejumlah uang atas nama perubahan iklim oleh negara Annex I.

Untuk isu financing misalnya Delegasi RI setuju dengan dana utang dan juga setuju dengan dana hibah. Begitu pula dengan desakan penurunan emisi bagi negara Annex I, dimana pemerintah terlihat bingung untuk menyatakan dengan tegas, harus dilakukan tanpa mekanisme offset.

Sementara itu menurut M. Islah, Pengkampanye Air dan Pangan WALHI, sehubungan dengan program pemerintah tentang mitigasi perubahan iklim pemerintah harus punya komitmen yang jelas dan tidak menonjolkan ego sektoral. Sehingga koordinasi lintas departemendapat dilakukan dengan baik. Ia mencontohkan, di saat Departemen Pertanian sibuk membuat perencanaan mengatasi dampak perubahan iklim terhadap keberlanjutan pangan, Departemen Kehutanan, ESDM dan Perindustrian sibuk merusak dan mempercepat terjadinya pemanasan global.

Komitmen yang kuat dari Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 26 % yang disampaikan oleh Presiden SBY pada pertemuan G20 ternyata tidak mendapat dukungan penuh dari departemen teknis seperti departemen kehutanan dan departemen pertanian.

Karena kedua departemen tersebut telah mematangkan rencana untuk terus membabat sedikitnya 26 juta hektar hutan alam untuk perkebunan sawit dan 23 juta meter kubik untuk mendukung kebutuhan industri bubur kertas. (***)

Hentikan Penangkapan Aktifis yang Menyuarakan Kepentingan Rakyat

Pada senin, 11 Mei 2009, sekitar pukul 11.00 Wita, dua aktifis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yaitu Berry Nahdian Furqon dan Erwin Usman ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian wilayah kota besar Manado karena melakukan aksi damai bersama para nelayan tradisional Sulawesi Utara. Dalam aksi yang menyuarakan kepentingan rakyat, terutama kelompok nelayan tradisional, para aktifis tersebut menuntut pemerintah agar memberantas kegiatan illegal fishing, pencemaran laut dari limbah perusahaan pertambangan dan mencermati ulang niat pemerintah yang ingin menetapkan kawasan konservasi laut demi kesejahteraan nelayan tradisional.

Namun tuntutan itu malah ditanggapi dengan tindakan penangkapan dan pembubaran paksa aksi damai oleh aparat kepolisian. Hal ini sengaja dilakukan agar pelaksanaan Kongres Kelautan Dunia (World Ocean Conference) dan Coral Triangle Initiative (CTI) yang berlangsung sejak 11-15 Mei 2009, bebas dari aksi protes dan seruan dari organisasi masyarakat sipil dan nelayan tradisonal.

Atas tindakan represif dan berlebihan itu, Perkumpulan Sawit Watch menyatakan:

  1. Pemerintah Indonesia selaku penyelenggara WOC dan CTI seharusnya menyediakan ruang bagi banyak pihak, terutama organisasi masyarakat sipil dan nelayan tradisional, yang berkepentingan menjaga kelestarian laut untuk terlibat dalam pertemuan tersebut.
  2. Tindakan pemberhentian dan pembubaran paksa aksi damai tadi memperlihatkan dengan jelas kepada publik bahwa Pemerintah Indonesia masih anti kritik dan perbedaan pendapat. Cermin demokrasi Indonesia yang belum mampu menghormati hak sipil dan politik warga negara meski dijamin dalam konstitusi.
  3. Menghimbau kepada aparat kepolisian dan institusi penegak hukum lainnya agar membebaskan kedua aktifis tersebut dan pelaku aksi damai lainnya, serta menuntut agar di waktu yang akan datang tindakan seperti ini tidak akan terjadi lagi.

Demikian pers ini dibuat untuk segera disiarkan dan disebarluaskan kepada publik.

Nuklir Jelas Bukan Jawaban Bagi Masalah Energi dan Perubahan Iklim

Nuklir Jelas Bukan Jawaban Bagi Masalah Energi dan Perubahan Iklim

Nuklir jelas bukan sumber energi berkelanjutan karena uranium yang merupakan bahan bakunya tidak berlimpah. Dengan kapasitas penggunaan energi nuklir saat ini, diperkirakan uranium di dunia akan habis dalam kurun waktu 34 tahun ke depan. Niat Indonesia untuk menghasilkan energi nuklir sebaiknya ditinjau kembali. Selain karena rentan terhadap kecelakaan yang membinasakan, juga cadangan uranium yang dimiliki negeri ini sangat sedikit. Bila wacana pengembangan energi nuklir ini tetap dipaksakan menjadi program kerja pemerintah, bisa dipastikan untuk memenuhi bahan baku uranium Indonesia mesti mengimpornya dari negara Australia, Kanada, Kazakhstan, Namibia, Niger, Rusia, Brasil dan Uzbekistan.

Bercermin dari pembangunan PLTN terbaru di negara maju, seperti di Finlandia dan Perancis, pemerintah Indonesia mengklaim bahwa energi murah bisa dihasilkan dari PLTN dengan biaya 1.500 USD/kW. Namun klaim pemerintah tadi sangat wajar untuk diragukan. Berdasarkan riset literature, disebutkan bahwa di Finlandia, misalnya, pembangunan PLTN Olkiluoto sejak tahun 2005 telah dihentikan dalam 3 tahun terakhir akibat pembengkakan biaya konstruksi. Semula biaya pembangunan diperkirakan mencapai 4 miliar USD, ternyata pada saat pelaksanaannya dibutuhkan tambahan dana sebesar 2,3 miliar USD. Berdasarkan kasus di atas, lembaga keuangan terkemuka AS, Moody's, memperkirakan biaya energi dari PLTN sebesar 7.500 USD/kW.

Selain membutuhkan dana konstruksi yang besar, persoalan lain yang kerap muncul dari PLTN adalah limbah radioaktif. Meski telah menghabiskan dana penelitian triliunan rupiah, hingga saat ini belum ada negara yang mempunyai metode pembuangan limbah radioaktif yang aman. Belum lagi faktor bahaya radiasi dari reaktor tersebut terhadap masyarakat. Sebuah penelitian resmi pemerintah Jerman menunjukkan, dalam keadaan normal, tingkat kanker dan leukemia pada balita yang tinggal di sekitar PLTN Jerman sangat menonjol, yaitu mengalami peningkatan cukup signifikan dari 54% menjadi 74%. Tentu saja, hal itu belum memperhitungkan bila terjadi kecelakaan nuklir seperti yang pernah dialami AS dan Soviet.

Dan jika dikaitkan dengan situasi global saat ini, persoalan perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan kehidupan di bumi akibat pelepasan gas rumah kaca (GRK), nuklir juga tidak mampu memberikan kontribusi berarti terhadap pengurangan emisi tersebut. Meski kapasitas reaktor nuklir ditingkatkan empat kali lipat (dari 2.600 TWh/tahun menjadi 9.900 TWh/tahun di tahun 2050), emisi GRK tereduksi hanya akan berkurang 6%. Padahal untuk mencapai kapasitas itu pun nyaris mustahil, karena itu berarti, sejak saat ini hingga tahun 2050 harus dibangun 32 PLTN berkapasitas 1.000 MW per tahun! Bandingkan dengan AS yang saat ini “hanya” memiliki 103 PLTN.

KEDAULATAN ENERGI

Berpaling ke nuklir jelaslah bukan jawaban bagi persoalan energi Indonesia. Sebaliknya, ia justru merupakan ancaman baru dalam membangun kedaulatan energi. Indonesia akan semakin mengalami ketergantungan dengan lingkar kapitalisme global di mana teknologi, sumber pembiayaan (utang luar negeri) dan bahan baku energi sepenuhnya dikendalikan oleh pihak asing. Pada saat yang sama, sumber energi Indonesia terus terkuras tanpa bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.

Pemerintah Indonesia jelas keliru jika betul-betul memilih nuklir sebagai sumber energi. Patut diingat bahwa ke-439 reaktor nuklir komersial yang saat ini beroperasi diseluruh dunia, hanya mampu memenuhi kebutuhan listrik dunia sebesar 15%. Apabila jadi di bangun di Indonesia, penggunaan energi nuklir pun hanya akan menggantikan 2% penggunaan energi lainnya. Tentu saja hal ini tidak sebanding dengan biaya dan ancaman (resiko) dari pembangunan PLTN tersebut.

Oleh karena itu, demi kemaslahatan bangsa dan kedaulatan energi Indonesia, penulis menghimbau kepada pemerintah untuk: pertama menghentikan rencana penggunaan nuklir sebagai sumber energy. Kedua mengalihkan segala pembiayaan dan tenaga ahli di bidang nuklir untuk mengembangkan sumber energi yang benar-benar terbarukan dan berkelanjutan yang memang dimiliki dari Sabang hingga Merauke, seperti mikrohidro, angin, tenaga surya, geothermal, dll.

Minggu, 13 September 2009

UU Lingkungan Hidup Disahkan DPR

DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna di gedung parlemen, Jakarta, Selasa (8/9).

Sebanyak sepuluh fraksi secara aklamasi menyetujui RUU PPLH menjadi UU PPLH sebagai pengganti UU Np.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam penyampaian pendapat akhir pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih kepada anggota DPR yang telah berinisiatif untuk membuat RUU PPLH untuk mengganti UU Lingkungan Hidup sebelumnya.

"UU tersebut (UU No.23/1997) telah bermanfaat bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, tetapi efektifitas implementasinya belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah substansial, struktural maupun kultural," kata Rachmat.

Dia menyebutkan beberapa hal penting dari UU PPLH yang belum atau masih kurang dalam UU sebelumnya, antara lain kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Kajian itu untuk memastikan pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan.

UU PPLH juga menyebutkan penguatan AMDAL (analisi mengenai dampak lingkungan) untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan.

Masalah perijinan juga diperkuat dengan menjadikan izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/kegiatan dapat dibatalkan apabila izin lingkungan dicabut.

Menlh mengatakan UU PPLH juga memperkuat sistem hukum PPLH dalam hal penegakan hukum lingkungan dengan antara lain pejabat pengawas yang berwenang menghentikan pelanggaran seketika di lapangan, Penyidik PNS dapat melakukan penangkapan dan penahanan serta hasil penyidikan disampaikan ke jaksa penuntut umum, yang berkoordinasi dengan kepolisian.

Bahkan pejabat pemberi izin lingkungan yang tidak sesuai prosedur dan pejabat yang tidak melaksanakan tugas pengawasan lingkungan juga dapat dipidana.

"Selain hukuman maksimun, juga diperkenalkan hukuman minimum bagi pencemar dan perusak lingkungan," tambah Rachmat Witoelar.

Greenpeace: Organisasi Kelapa Sawit Tameng Perusak Lingkungan

LSM lingkungan, Greenpeace, menyatakan organisasi internasional produsen kelapa sawit Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) hanya sebagai tameng anggotanya yang tetap merusak lingkungan. Juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, dihubungi dari Pekanbaru Kamis (13/11) mengatakan, berdasarkan penelitian Greenpeace, RSPO tidak lebih dari sekedar tameng agar perusahaan yang masuk dalam organisasi itu terkesan ramah lingkungan.

Sertifikasi RSPO memang menuntut perusahaan mematuhi ketentuan standar mengenai perkebunan, namun tidak melarang pembukaan hutan bahkan di lahan gambut sekali pun. Padahal lahan gambut merupakan faktor penting dalam memerangi perubahan iklim.

Pembukaan lahan, pengeringan, dan pembakaran hutan-hutan gambut telah menempatkan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga dunia. Sementara anggota-anggota RSPO tidak diwajibkan mengubah perilaku kerjanya.

"Dengan laju pembabatan dan pembakaran hutan saat ini, hutan dataran rendah Indonesia sebagian besar akan hilang dalam waktu 15 tahun mendatang, standar RSPO tidak memadai, dan kerangka kerjanya tidak akan memecahkan masalah deforestasi di Asia Tenggara. Industri bersama pemerintah harus mengambil tindakan segera untuk melindungi hutan kita," ujar Bustar.

Salah satu perusahaan bersertifikasi RSPO, United Plantations, yang juga pemasok Nestle dan Unilever, terlibat kegiatan deforestasi di lahan gambut Kalimantan yang rentan, Papua, dan mempunyai rencana-rencana perluasan perkebunan yang agresif.

Greenpeace, kata Bustar, hingga kini masih melakukan penghadangan terhadap sebuah kapal tanker pengangkut CPO di pelabuhan Dumai. Seorang aktivis Greenpeace sejak Rabu malam (12/11) menguncikan dirinya ke rantai jangkar kapal Isola Corallo untuk mencegah kapal merapat ke pelabuhan. Kapal berbendera Malta itu dikabarkan akan mengangkut CPO milik perusahaan Sinar Mas tujuan Rotterdam, Belanda.

PEMERINTAH DORONG PETANI UNTUK GUNAKAN PUPUK ORGANIK

Departemen Pertanian akan fokus mendorong petani untuk menggunakan pupuk organik dan bio-organik sebagai substitusi pupuk kimia. Hal itu dilakukan dalam rangka menekan pemakaian pupuk kimia yang boros anggaran dan merusak lahan pertanian.

Demikian dikatakan Menteri Pertanian Anton Apriyantono dalam kunjungan kerja terkait evaluasi program pertanian di Provinsi Sulawesi Selatan selama empat hari, 19-23 Maret 2009.

Selain terus mendorong penggunaan pupuk organik, Deptan melalui program peningkatan produktivitas tanaman pangan, seperti Sekolah Lapang dan Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (SL-PTT), memanfaatkan penggunaan pupuk organik.

Terbukti dengan mengurangi penggunaan urea dari 300-400 kilogram per hektar menjadi 100 kilogram, NPK ditingkatkan menjadi 300 kilogram per hektar, dan pupuk organik 500 kilogram per hektar, produktivitas tanaman padi dalam program SL-PTT bisa ditingkatkan.

Dua pekan lalu, Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman menyatakan bahwa riset di bidang pangan, salah satunya diarahkan untuk pengembangan pupuk bioorganik atau biofertilizer.

Hal tersebut dilakukan karena pupuk organik lebih ramah lingkungan, sementara anggaran subsidi pupuk kimia terus membengkak, dan adanya kendala suplai gas ke industri pupuk.

Anton menyatakan, penggunaan urea harus dikurangi secara bertahap, tidak bisa langsung besar karena selama ini petani sudah terbiasa dengan urea. ”Harus ada upaya terus-menerus untuk mengajak petani menggunakan pupuk organik,” katanya.

Pengolahan pupuk

Sementara itu, Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemennegkop) mulai membidik koperasi untuk aktif memainkan peran dalam mengembangkan pupuk organik.

Setelah Bali dan Malang, pengembangan pupuk organik diperluas dengan disosialisasikan ke koperasi Pasar Induk Kemang, Bogor, Jawa Barat. Dalam sosialisasi tersebut terungkap bahwa pendirian pabrik pengolahan pupuk organik di Bogor ini diperkirakan mencapai Rp 711 juta.

Alokasi dana tersebut digunakan untuk bangunan Rp 200 juta, pengolahan pupuk organik Rp 190 juta, dan sisanya digunakan untuk mengolah menjadi granul atau butiran pupuk organik serta sosialisasi ke masyarakat. ”Pada intinya, pengembangan pengolahan sampah menjadi pupuk organik mampu membuka lapangan kerja,” kata Menneg Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, Selasa (24/3).

Deputi Pengkajian Kemennegkop dan UKM Wayan Dipta menjelaskan, biaya operasional untuk pengolahan pupuk organik ini Rp 20,9 juta per bulan, sedangkan tenaga kerja yang terserap langsung 15 orang, ditambah seorang manajer.

Jumat, 22 Mei 2009

Komite Independen Perlindungan Pembinaan dan Penyelamatan Masyarakat Tani dan Lingkungan.

Bismillahirohmanirrohim......

Pertanian dan Lingkungan adalah dua faktor yang saling mendukung pertanian sebagai salah satu faktor vital guna mengangkat perekonomian Nasional jika tidak diimbangi dengan Lingkungan yang tertata dan terjaga baik, terbebas dari pengrusakan hutan, Polusi air, udara dan tanah sangat mustahil bisa tercapai karena pembangunan pertanian kedepan diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam rangka mengurangi kesenjangan dan meluaskan kesempatan kerja serta dapat memanfaatkan semua peluang ekonomi yang terjadi sebagai dampak dari globalisasi dan liberalisasi perekonomian dunia.

Guna mewujudkan harapan tersebut dibutuhkan petani dan pelaku usaha pertanian yang berkwalitas dan handal dengan ciri mandiri, berjiwa wirausaha, memiliki dedikasi, etos kerja, displin, bermoral tinggi, loyal dan berwawasan global serta bertanggung jawab kepada lingkungan yang terjaga dan lestari sehingga tercipta produk-produk pertanian yang bermutu dan berdaya saing tinggi.

Tantangan pertanian kedepan adalah kenyataan bahwa kerusakan hutan, polusi air, tanah dan udara yang terus meningkat selain penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang sangat berlebihan. Serta pertanian kita yang masih didominasi usaha kecil yang dilaksanakan hanya 20% dari jumlah penduduk, berlahan sempit, bermodal kecil, dan kurang menerapkan teknologi serta memiliki produktifitas yang rendah. Kondisi ini sungguh kurang menguntungkan terhadap persaingan dipasar International, selain mengingat kita sebagai negara agraris dengan sumberdaya alam yang cukup melimpah. Oleh karenanya diperlukan upaya khusus pemberdayaan melalui Pembangunan Sistem Pertanian Yang berWawasan Lingkungan yang mampu meningkatkan kesejahteraan para petani, selain mampu bersaing di pasaran dalam negeri maupun International.

Paparan diatas mendorong dibentuknya Komisi Independen Perlindungan Pembinaan dan Penyelamatan Masyarakat Tani dan Lingkungan (KipppTan) sebagai wujud keprihatinan dan sumbangsih bagi negeri tercinta terhadap masih kurangnya kesadaran, perhatian dan wawasan para Petani dan Pelaku Usaha Pertanian akan pentingnya suatu sistem pengelolaan pertanian yang berwawasan lingkungan. Kelahiran KipppTan didasari oleh semangat kebersamaan untuk membina, melindungi dan memperjuangkan hak-hak para petani, pelaku usaha pertanian, masyarakat dan alam lingkungannya sebagai asset bangsa dengan prinsip kesetaraan, demokrasi, transparansi, menghargai kearifan lokal dan akuntabel. Karenanya komisi ini didukung dan dikelola oleh para akademisi dibidang pertanian dan lingkungan, para relawan, PPL pertanian, para petani trampil, dan masyarakat yang peduli terhadap dunia pertanian dan pengelolaan lingkungan hidup.

Untuk mendukung program-program kerjanya kedapan KipppTan membangun kerjasama dengan universitas-universitas negeri dan swasta, Lembanga-lembaga Riset, LSM, NGO, dan Lembaga-lembaga donor baik dari dalam maupun luar negeri. Juga sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat KipppTan akan bermitra sejajar dengan Pemerintah sebagai sosial kontrol, wadah pembina, pelindung dan penyelamatan terhadap arti pentingnya Pengembangan Pertanian yang basis pada Pengelolaan Lingkungan Hidup yang serasi selaras dan seimbang. Sehingga dalam pelaksanaannya Inovasi dan Bio-Teknologi Pertanian dapat terserap kepada para petani dan pelaku usaha pertanian yang ditunjukkan dengan meningkatnya hasil dan mutu produksi pertanian serta kesejahteraan dari pada petani. Seiring dengan timbulnya animo masyarakat untuk menjaga dan mengelola lingkungan hidup yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.

Idealisme dan kemauan adalah hakekat hidup yang terkadang nyaris lumpuh oleh sikap pesimis dan apriori atas keadaan saat ini. Namun masih ada celah untuk kita bisa mengokohkannya dengan semangat kemauan, kerja keras, membuang rasa putus asa dan membelenggu rasa ragu. Karenanya dengan rasa optimis KippTan yang dibentuk dengan idealisme dan kemauan teguh ini harus mampu secara gradual membawa perubahan sikap para petani dan pelaku usaha pertanian kearah kesadaran akan arti pentingnya Pembangunan Ekonomi Pertanian Yang Berwawasan Lingkungan.

Kita bisa jika kita pikir bisa, karena letak kemuliaan seorang insan bila mana ia dapat bermanfaat bagi manusia dan alam lingkungannya.